Selamat Datang di Web P3E Suma

Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion adalah unsur penunjang pelaksanaan tugas Kementerian yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal. Dan mempunyai tugas melaksanakan pengendalian pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di wilayah ekoregion.

Read More
  • Rembuk Nasional Untuk Percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

    Gambar mungkin berisi: 13 orang, orang tersenyum, orang berdiri dan dalam ruanganP3E Suma-KLHK (Jakarta, Jum’at, 21 September 2018)-Percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) terus diupayakan oleh Pemerintah. Melalui Forum Rembuk Nasional Pemerintah akan mendorong terpenuhinya target RAPS melalui rencana tindak lanjut yang disusun dengan melibatkan partisipasi aktif dari organisasi atau komunitas masyarakat mulai dari level tapak hingga para pengambil kebijakan.
     
    Kurang lebih 300 peserta dari 9 (sembilan) provinsi mengikuti kegiatan yang dibuka oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta (20/9/2018). Kesembilan provinsi tersebut adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
     
    Presiden Joko Widodo dalam arahannya kepada peserta pada acara Peresmian Pembukaan Rembuk Nasional mengharapkan agar RAPS dapat berjalan dengan baik. "Dengan demikian, struktur penguasaan lahan di tanah air betul-betul berkeadilan.", jelas Presiden Joko Widodo.
     
    Data hingga 13 September 2018, telah diberikan akses Perhutanan Sosial seluas 1.917.890,07 Ha
    untuk kurang lebih 458.889 KK dengan jumlah Surat Keputusan (SK) sebanyak 4.786 Unit SK Ijin/Hak. Khusus untuk Hutan Adat, hingga September 2018 telah ditetapkan seluas 25.110,34 Ha dengan jumlah 33 unit SK.
     
    Dalam kegiatan Rembuk Nasional RAPS juga diserahkan SK Penetapan Hutan Adat kepada 16 (enam belas) Masyarakat Hukum Adat oleh Presiden RI. Areal Hutan Adat yang ditetapkan dan diserahkan SK-nya dimaksud seluas keseluruhan ± 6.032,5 Ha, yang tersebar di Provinsi Jambi (10 lokasi), Kalimantan Barat (3 lokasi), Sulawesi Selatan (2 lokasi) dan Provinsi Jawa Barat (1 lokasi).
     
    Di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi terdapat 10 lokasi Hutan Adat yaitu sebagai berikut:
    1.    Hutan Adat Rimbo Bulim oleh Masyarakat Hukum Adat Bathin II Batang Uleh seluas 40,5 Ha.
    2.    Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Belitung Kuning Muara Air Dua oleh Masyarakat Hukum Adat Nenek Limo Dan Nenek Empat seluas 645 Ha.
    3.    Hutan Adat Hulu Air Lempuk Lekuk Limo Puluh Tumbi oleh Masyarakat Hukum Adat Hulu Air Lempur Lekok Limo Puluh Tumbi seluas 745 Ha.
    4.    Hutan Adat Imbo Larangan Pematang Kulim dan Imbo Larangan Inum Sakti oleh Masyarakat Hukum Adat Dusun Mengkadai Desa Temenggung seluas 115 Ha.
    5.    Hutan Adat Desa Meribung oleh Masyarakat Hukum Adat Batin Jo Pangulu Desa Meribung seluas 617 Ha.
    6.    Hutan Adat Pangulu Lareh oleh Masyarakat Hukum Adat Pangulu Lareh Desa Temalang seluas 124 Ha.
    7.    Hutan Adat Rio Peniti oleh Masyarakat Hukum Adat Batin seluas 240 Ha.
    8.    Hutan Adat Titian Teras oleh Masyarakat Hukum Adat Titian Teras Dusun Kampung Pondok seluas 138 Ha.
    9.    Hutan Adat Imbo Pseko oleh Masyarakat Hukum Adat Pangulu Desa Napal Melintang seluas 83 Ha.
    10. Hutan Adat Datuk Mantri Sati oleh Masyarakat Hukum Adat Batin Jo Pangulu Desa Mersip seluas 78 Ha
     
    Di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat terdapat satu lokasi Hutan Adat yaitu Hutan Adat Leuweung Gede oleh Masyarakat Hukum Adat Kampung Kuta seluas 31 Ha.
     
    Di Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat terdapat Hutan Adat Pikul oleh Masyarakat Hukum Adat Kampung Dusun Melayang seluas 100 Ha.
     
    Masih di Kalimantan Barat, di Kabupaten Sanggau, terdapat dua lokasi hutan adat yaitu Hutan Adat Tae oleh Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Tae seluas 2.189 Ha, dan Hutan Adat Tembawang Tampun Juah oleh Masyarakat Hukum Adat Dayak Ketemenggungan Sisang Kampung Segumon seluas 651 Ha.
     
    Di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan terdapat dua lokasi Hutan Adat, yaitu Hutan Adat Orong oleh Masyarakat Hukum Adat Orong seluas 81 Ha, dan Hutan Adat Marena oleh Masyarakat Hukum Adat Marena seluas 155 Ha.
     
    Tujuan dari Rembuk Nasional RAPS ini diantaranya adalah mensosialisasikan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria, serta memberikan pelatihan kepada masyarakat agar dapat memenuhi dokumen syarat usulan TORA, PS dan KHDTK.
     
    Dari Rembuk Nasional ini juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi potensi solusi untuk hambatan-hamnatan dalam pelaksanaan reforma Agraria baik legalisasi maupun redistribusi aset. untuk mendukung percepatan implementasi RAPS, akan disusun rencana tindak lanjut kegiatan setelah Rembuk Nasional ini.
     
    Rembuk Nasional ini merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah dalam mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Bagi KLHK, agenda perhutanan sosial dan hutan adat merupakan salah satu program prioritas.
     
    Rembuk Nasional ini terlaksana atas kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kepala Staf Presiden, Kementerian ATR/ BPN, Kementerian Desa dan PDTT, Kementerian LHK, PBNU dan Global Land Forum. Rembuk Nasional akan fokus pada percepatan pelaksanaan RAPS dengan melibatkan partisipasi aktif dari organisasi atau komunitas masyarakat mulai dari level tapak hingga para pengambil kebijakan.
     
    Pelaksanaan RAPS selama ini masih mengalami banyak kendala, sehingga masih perlu harmonisasi peraturan pelaksanaan yang telah ada dalam rangka mengantisipasi adanya konflik horizontal antar Kementerian/Lembaga, penegak hukum, swasta dan masyarakat. Saat ini pencapaian Reforma Agraria (Redistribusi Tanah dan Legalisasi Aset) dan Perhutanan Sosial belum sesuai harapan, sehingga melalui forum Rembuk Nasional ini diharapkan ada percepatan target melalui rencana tindak lanjut yang dihasilkan.(*)
     
     
    Penanggung jawab berita:
    Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
    Djati Witjaksono Hadi – 081977933330

     

  • Menkeu RI Hipnotis Peserta Konas IAKMI-XIII

    P3E Suma, KLHK-Konas IAKMI di Hotel Four Points by Sheraton Makassar digelar selama 3 (tiga) hari pada 3-5 November 2016 beralamat Jl. Landak Baru No. 130, Kec. Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan Indonesia, Kode Pos 90235.

    Read more ...
  • P3E Suma Lakukan Ekspedisi Flora dan Fauna Gandang Dewata

    P3E Suma, KLHK-Taman  Nasional Gandang Dewata (TNGD)   ditetapkan oleh Menteri LHK sesuai SK No 773 tanggal 3 Oktober 2016, telah dideklarasikan pada tanggal 5 April 2017,  luas wilayah sekitar 180.078 ha,  memiliki ketinggian 3037 Mdpl terletak di Kabupaten Mamasa dan Mamuju Provinsi Sulawesi Barat.

    Taman  Nasional Gandang Dewata berada di wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Untuk mengunjungi Gandang Dewata aksesnya melalui dua daerah, Mamasa dan Mamuju. Keberadaan Taman Nasional Gandang Dewata perlu dijaga bersama, di samping sebagai Taman Nasional juga tersimpan berbagai Kekayaan Alam yang masih membutuhkan sentuhan tangan kita sebagai manusia untuk dapat turut menjaga kelestarian habitat Gandang Dewata, seperti Anoa.

    Lokasi tersebut masih terdapat sumber mata air bersih yang masih dapat di manfaatkan masyarakat Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju juga wilayah sekitarnya. Hasil peneliti asal Amerika dan peneliti dari Australia yang melakukan survey selama 10 hari melakukan penelitian di puncak Gunung Gandang Dewata termasuk rombongan dari LIPI meneliti tikus yang diperkirakan sekitar 38 jenis tikus selain spesies Anoa.

    Guna memastikan keutuhan kekayaan sumber daya alam Taman Nasional Gandang Dewata, maka tim dari P3E Suma melakukan ekspedisi. Berangkat dari Makassar pada 10 April 2018, kemudian menginap di Kabupaten Mamasa. Keesokan harinya melanjutkan ekspedisi ke TNGD dengan mempunyai tujuan memperkaya wawasan tentang Flora dan Fauna di kawasan konservasi.

    Potensi Kawasan Konservasi Tanaman Nasional Gandang Dewata terdapat potensi Flora antara lain, anggrek, kayu bitti, rotan, pinang hutan, palem berbagai jenis. Sementara potensi spesies Fauna endemik TNGD dihuni Monyet, Babi Rusa, Burung Rangkong, Elang Sulawesi.

    TNGD memiliki panorama alam dan keindahan air terjun. Potensi kawasan konservasi sesuai dengan kawasan tersebut yakni sebagai kawasan pelestarian alam dan Kawasan Suaka Alam, sehingga pembangunan diarahkan pada fungsi kawasan bagi kesejahteraan masyarakat.

    Dengan ditemani pendamping, salah satu warga setempat, menyusuri kawasan TN. Gandang Dewata. Kegiatan dilakukan menyusuri jalur pendakian gunung Gandang Dewata yang selama ini belum begitu terekspose secara luas melalui dunia maya.

    Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dan Pemerintah Pusat melakukan pembenahan agar Gandang Dewata dikenal secara publik, terlebih saat ini TNGD menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Barat dan Pemerintah Daerah, kekayaan flora dan fauna juga budaya Sulbar terakomodir didalamnya.

    “Beberapa poin penting yang harus segera di benahi antara lain akses untuk menuju ke pos 1 setidaknya dibenahi agar bisa dilalui menggunakan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat, untuk mencapai pos 1 ditempuh selama 2 sampai 3 jam apabila berjalan kaki, dengan kendaraan bermotor hanya dibutuhkan waktu 15 menit.” Jelas Papa Bembe seorang pemandu di pos 1.

    “Spesies anoa sudah dapat di temui di pos 3 sampai pos 10.” Ungkap Papa Daut yang sekaligus merupakan juru kunci TNGD.

    Lebih lanjut Papa Daut mengungkapkan, “bahwa untuk sampai ke kawasan TNGD membutuhkan waktu sekitar 3 hari jalan kaki. Sebanyak 3000 orang pernah berkunjung ke TNGD yang terdaftar di daftar pengunjung.”

    Gunung Gandang Dewata ini menyimpan misteri, “suatu ketika ada beberapa pecinta alam mendaki kawasan tanpa terlebih dahulu meminta ijin juru kunci atau ketua suku, mereka tersesat dan menemui banyak menemui kendala di sana.” Terang Papa Daut kepada tim P3E Suma.

    Konon mitosnya, Gandang Dewata diambil dari kata Gendang Dewa. Ini dimaksudkan apabila akan terjadi peristiwa atau musibah, terdengar suara gendang begitu menggelegar bagai suara dewa sebagai isyarat agar warga agar segera menyelamatkan diri.

    Dari hasil ekspedisi, belum ada pos tempat mendata para pengunjung. Jalanan setapak masih belum terlalu terjamah, sehingga apabila turun musim hujan, medan akan sangat licin. Kondisi kawasan masih bagus, akan tetapi dibutuhkan sarana dan prasarana memadai.

    Tim Ekspedisi TNGD:
    Muh. Abidin
    Mulyana
    Garman
    Shine Librain
    Syarif

     

  • Merdeka dari Kepungan Sampah

    P3E Suma-KLHK (Kamis, 9 Agustus 2018)-Di tengah laju pertumbuhan penduduk bumi yang mendekati angka sembilan Miliar, kita menghadapi suatu masalah serius bernama sampah.

    Bumi ini terus terdesak oleh himpitan beban sampah yang menyumbat ruang bergerak manusa. Berbagai masalah telah ditimbulkannya, mulai dari kemunculan berbagai macam penyakit hingga bencana alam.

    Seorang aktor kawakan asal Inggris bernama Jeremy Irons pernah dihantui kecemasan akut gara-gara sampah.

    Jeremy kemudian melakukan plesiran keliling dunia, tetapi tidak untuk mendatangi spot-spot indah---Jeremy justru berkeliling  untuk melihat tumpukan-tumpukan sampah di berbagai belahan dunia.

    Semua bermula dari rasa penasarannya, mengapa semakin banyak orang yang mengidap alergi, menderita disleksia, bahkan Attention Deficit Disorder (ADD).

    Bersama seorang sutradara bernama Candida Brady, Jeremy terlibat dalam sebuah projek film dokumenter berjudul Trashed.

    Film berdurasi 98 menit tersebut memotret bagaimana pengelolaan sampah di berbagai negara, mulai dari Lebanon, Vietnam, Islandia, Amerika Serikat, Cina hingga Indonesia.

    Lewat film itu, Candida menemukan suatu fakta bagaimana racun-racun kimia seperti dioksin bisa ada pada tubuh bayi yang baru lahir, rupanya berasal dari sampah.

    Pada sekuel awal film itu, Jeremy yang berdiri di sekitar pantai Sidon di Libanon menyaksikan pemandangan sebuah gunung sampah yang menjulang tinggi.

    Itu adalah rongsokan beragam sampah rumah tangga, sampah medis, cairan racun, hingga bangkai binatang yang telah bergelantur selama 30 tahun di kota itu.

    Jeremy juga menjelajahi laut pasifik dan menyaksikan tarian berton-ton sampah. Sampah-sampah plastik kebanyakan. Binatang laut termasuk ikan-ikan akan memakannya.

    Lalu, biota laut tersebut kembali akan dimakan manusia. Maka, dalam tubuh manusia, racun polutan dioksin dapat terakumulasi. Melahirkan berbagai penyakit bahkan memperbesar angka kematian mendadak bagi manusia.

    Film Trashed menegaskan perlunya suatu upaya serius demi menghalau dampak berbahaya di balik lonjakan beban sampah. Jeremy berseru: "Lita semua harus melakukan sesuatu untuk bumi dan kelangsungan hidup manusia, mari mulai kurangi sampah!"

    Seberapa Merdeka Kita dari Kepungan Sampah?
    Benar kata Jeremy, harus ada upaya kolaboratif yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk mengatasi beban persampahan.

    Di Indonesia, dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup besar, sampah sudah menguasai pusat-pusat kota. Dampaknya beberapa kota di antaranya seperti Jakarta, Surabaya, Jayapura dan lainnya telah terpapar volume sampah dengan skala besar.

    Indonesia bahkan telah dinobatkan sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina.
    Parahnya, penelitian lebih spesifik dilakukan oleh Lamb, et.al (2018) yang berjudul Plastic Waste Associated with Disease on Coral Reefs menunjukkan, bahwa sampah plastik paling banyak ditemukan di Indonesia, yakni 25,6 bagian per 100 m2 terumbu karang di lautan.

    Itu berarti tidak sedikit sampah yang dihasilkan di darat telah dibuang ke laut. Persis seperti apa yang digambarkan dalam film Trashed.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016, produksi sampah per hari tertinggi berada di Pulau Jawa, khususnya Surabaya. Pada 2015, produksi sampah di Surabaya sebesar 9.475,21 meter kubik dan meningkat menjadi 9.710,61 meter kubik di 2016. 

    Wilayah lain di luar Pulau Jawa yang produksi sampahnya tinggi adalah Kota Mamuju, yaitu 7.383 meter kubik dan Kota Makassar, sebesar 5.931,4 meter kubik pada 2016.

    Sementara dari pemantauan Statistik Lingkungan Hidup pada 2010 hingga 2016, ditemukan bahwa kota-kota di Indonesia pada umumnya mengalami kenaikan produksi sampah.

    Tentunya dengan Pulau Jawa sebagai penyumbang terbesar karena kepadatan penduduknya yang lebih tinggi dibandingkan pulau lainnya (Irma Garnesia, Tirto.id).

    Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun (B3), Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan proyeksi volume sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga pada 2018 mencapai 66, 5 juta ton. Artinya, menurut Vivien, setiap orang menghasilkan 0,7 kg sampah per hari.

    Bayangkan, betapa besar beban persampahan nasional.
    Pada saat yang sama, kita masih mengalami masalah besar yakni infrastruktur pengolahan sampah belumlah memadai.
    Masih menurut Vivien, untuk membangun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang bagus membutuhkan biaya sekitar 125 ribu per ton sampah.

    Faktanya, pemerintah daerah umumnya hanya menyiapkan anggaran sebesar 30 juta. Tidak heran bila tidak semua daerah di Indonesia memiliki TPA dengan standar pemilahan dan pengolahan sampah yang representatif.

    Perubahan Paradigma
    Padahal permasalahan sampah tidak saja pada perihal produksi dan keterangkutannya, tetapi juga pada masalah pemilahannya.

    Data BPS 2014 menunjukkan kesadaran masyarakat Indonesia dalam pemilahan sampah masih tergolong rendah. Perilaku tidak memilah sampah sebelum dibuang naik dari 76,31 persen pada 2013 menjadi 81,16 persen di 2014.

    Maluku Utara adalah daerah dengan kesadaran memilah sampah terendah di Indonesia. Pada 2014, 91,82 persen rumah tangga menyatakan tidak memilah sampahnya sebelum dibuang.

    Secara statistik, baru Provinsi Sulawesi Selatan yang masyarakatnya cukup tinggi dalam kesadaran memilah sampah. Sebanyak 31,88 persen rumah tangga yang sudah melakukan pemilahan sampah dan 68,11 persen belum memilah sampah.

    Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilih sampah tentu berdampak pada belum maksimalnya pendauran ulang sampah. Tetapi itu juga disebabkan model-model pengelolaan sampah saat ini masih pada logika membuang sampah.

    Oleh sebab itu, diperlukan model berkelanjutan melalui circular economy (ekonomi melingkar). Model ini adalah upaya mengubah cara pandang masyarakat terhadap plastik yakni tidak sebagai sampah tetapi sebagai sebuah komoditas yang berpotensi dikembangkan.

    Model-model circular economy belakangan telah diterapkan di berbagai kota seperti di Makassar, Badung, dan lainnya.

    Ini membutuhkan kolaborasi dan peran semua pihak khususnya masyarakat. Selain nilai tambah secara ekonomi, model ini juga dapat menciptakan nilai tambah sosial yakni pemberdayaan masyarakat.

    Pendekatan yang lebih inovatif dan kreatif jelas diperlukan dalam menangani masalah persampahan di Indonesia.

    Dari sisi kebijakan, misalnya, harus ada komitmen kuat dari pemerintah untuk mendukung terwujudnya budaya bersih dalam masyarakat, diantaranya melalui penguatan kelembagaan.

    Seperti diketahui, pemerintah menargetkan pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga pada 2018 mencapai 15 persen. Hingga 2025, targetnya 30 persen.

    Bisa dikatakan target pemerintah bukan mustahil bisa diwujudkan bila ada peran kolaboratif semua pihak.

    Semua dimulai dari upaya mengubah mindset masyarakat dalam memandang sampah sebagai tanggungjawab bersama.

    Kata Jeremy, perihal sampah membutuhkan perubahan sikap semua manusia.

    Tentu dimulai dari diri sendiri. Mulai dari lingkungan terdekat. Sekarang juga! Kita harus bergerak bersama menjadi bangsa yang merdeka dari kepungan sampah! Atau bersiaplah menerima bencana besar di balik sampah yang menggunung setiap harinya.

    Sumber berita: Anis Kurniawan (kompasianer).

     

  • Sistem Deteksi Dini Karhutla Mulai Diterapkan

    P3E Suma, KLHK (Senin, 21 Januari 2018)- Mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2018, KLHK menyusun terobosan baru berupa penerapan Teknologi Monitoring dan Deteksi Dini Karhutla.

    Read more ...

 

Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi & Maluku (P3E Suma) adalah unsur pendukung yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui Sekretaris Kementerian. P3E Sulawesi & Maluku mempunya tugas melaksanakan pengendalian pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di wilayah ekoregion.

Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi & Maluku saat ini adalah Ir. Darhamsyah, M.Si

A : Jalan Perintis Kemerdekaan KM 17, Makassar Indonesia. 90241

P : 0411 555701, 555702

F : 0411 555703

e : sil.ppesuma@gmail.com

Go to top