P3E Suma, KLHK-Dalam rapat paripurna beberapa waktu yang lalu sejumlah anggota DPR RI tengah mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Menindaklanjuti hal tersebut Presiden sudah menerbitkan surat presiden (Surpres) tentang revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN dengan menunjuk tiga menteri untuk membahas revisi UU tersebut.  Ketiga menteri yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Menteri Keuangan (Menkeu), dan Menteri Hukum dan HAM. Adapun isu utama usulan revisi Undang-Undang ini adalah pengangkatan tenaga honorer dan pembubaran atau penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Poin-poin polemik dalam revisi Undang-Undang ASN ini antara lain wacana pengangkatan tenaga honorer secara otomatis menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Data dari Seknas Fitra 2017, bahwa tren anggaran belanja pegawai terus naik dari tahun ke tahun  (dari sekitar Rp 127 triliun menjadi sekitar Rp 281 triliun dalam periode 2009 hingga 2015).  Dari sekitar 260 kabupaten/kota, belanja terbesar adalah belanja birokrasi yaitu sekitar 50 hingga 75 persen.  Dengan tambahan sekitar 440 ribu tenaga honorer yang diangkat otomatis, berarti ada tambahan beban anggaran antara Rp 23,8 triliun hingga Rp 40 triliun dalam hitungan dua tahun selanjutnya (Jaweng, 2017, hal.6). Dengan anggaran belanja birokrasi yang begitu besar,  apakah masih cukup dana untuk membiayai program-program prioritas lainnya?. Masalah lainnya adalah terkait pengangkatan honorer menjadi PNS secara otomatis tanpa tes. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan butir ke-2 isi Nawacita pemerintahan Jokowi-JK dan semangat dari Undang-Undang ASN.

Butir ke-2 isi Nawacita pemerintahan Jokowi-JK adalah membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik (reformasi birokrasi). Berkaitan dengan itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan jawaban untuk mewujudkan Nawacita tersebut. Undang-Undang ini mempunyai misi mewujudkan aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan. Undang-Undang ini telah memberikan landasan bagi diterapkannya sistem merit bagi ASN dimana keputusan untuk penerimaan penempatan dan pengangkatan harus didasarkan kepada kompetensi, kualifikasi, dan pengalaman yang memadai.

Dengan semangat membangun sistem merit, tenaga honorer tidak diperkenankan lagi untuk direkrut dan diangkat karena mekanisme pengisian jabatan dilakukan melalui seleksi untuk memenuhi kualifikasi pekerjaan tertentu dan bersifat spesialis dalam arti dalam rangka mengisi kompetensi tertentu yang tidak tersedia dalam organisasi dan bukan bersifat umum yang dapat diisi oleh sembarangan orang, baik untuk pengisian formasi CPNS, Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Pengangkatan tenaga honorer menurut UU ini berarti melawan undang-undang karena tidak ada pasal yang menyebutkan dibolehkannya pengangkatan pegawai tanpa melalui seleksi seperti pengadaan CPNS maupun pengisian JPT dan P3K.

Polemik berikutnya adalah wacana yang dilontarkan DPR untuk membubarkan KASN, karena dinilai tumpang tindih fungsinya dengan lembaga lain di dalam pengawasan kinerja birokrasi, memboroskan anggaran negara dan kinerja yang dinilai kurang maksimal selama ini. Berdasarkan Undang-Undang ASN, bahwa untuk menerapkan prinsip merit system dibentuk KASN, lembaga non sruktural yang bertanggung jawab dalam mengawasi pelaksanaan sistem merit dan penegakan kode etik. KASN bertugas memastikan agar seleksi terbuka JPT dilakukan melalui mekanisme yang transparan, obyektif, dan kompetitif. Keberadaan lembaga KASN ini sangat diperlukan sebagai instrument penting untuk mengurangi atau mencegah politisasi jabatan atau pengangkatan jabatan yang tak sesuai dengan kompetensi dan kualifikasi serta praktek jual beli atau komersialisasi jabatan. Birokrat diangkat berdasarkan kedekatan dengan tokoh politik dan bukan karena kinerja dan prestasi yang baik. Adapun komersialisasi jabatan  akan melanggengkan praktek jual beli jabatan. Yang melakukannya cenderung cari jalan balik modal lewat perizinan, anggaran pengadaan barang dan jasa, juga tarif untuk anak buah yang akan dipromosikan.  Hal ini akan sangat merugikan negara, pelaku usaha dan masyarakat umum tentunya. Tidak boleh ada langkah mundur dalam reformasi birokrasi di Indonesia. Publik sudah menunggu lama untuk berdirinya sebuah komisi independen yang bebas intervensi politik untuk membantu  mengawasi efektivitas pelaksanaan manajemen ASN di Indonesia

ASN Berkelas Dunia

Berdasarkan Laporan World Bank tahun 2016 bahwa indeks efektifitas pemerintahan Indoensia adalah peringkat ke-6 di ASEAN. Rendahnya peringkat Indonesia dibandingkan negara ASEAN mengindikasikan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) selaku mesin penggerak birokrasi pemerintah belum menjalankan fungsinya secara maksimal. Adapun komponen indeks yang dinilai terdiri dari: kualitas layanan publik, derajat independensi birokrasi terhadap intervensi politik, kualitas formulasi dan implementasi kebijakan, dan kredibilitas pemerintah.

Good governance merupakan ciri pemerintahan yang berkelas dunia dan untuk mencapainya harus didukung dengan SDM yang berkelas dunia juga. ASN berkelas dunia setidaknya memiliki lima kriteria, yakni profesional, integritas, orientasi kepublikan, budaya pelayanan yang tinggi, serta memiliki wawasan global. Kelima kriteria tersebut perlu dilakukan oleh seluruh ASN secara berkesinambungan guna memenuhi tuntutan kualifikasi ASN yang mumpuni untuk wujudkan good governance di Indonesia.

Teramat sering kita mendengarkan mengenai penerapan good governance di lingkup ASN, namun pemerintah masih jarang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya para aparatur negara menerapkannya. Dalam mewujudkan ASN profesional, dilakukan dengan mendorong para ASN untuk mewujudkan dan memaksimalkan kompetensi yang dimiliknya sehingga bermanfaat tepat guna bagi bidang yang dikerjakannya. Untuk menjadi  ASN yang berintegritas, para ASN diharapkan komitmen kuat dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik. Kriteria kedua ini sangat berkaitan kriteria selanjutnya, yakni orientasi kepublikan. Para ASN diharapkan memiliki jiwa melayani yang luhur sehingga memberikan kepuasan publik. Adapun kriteria keempat adalah mengenai budaya pelayanan yang tinggi, di mana cukup berkaitan dengan kriteria kedua dan ketiga. Yang membedakannya adalah bahwa kriteria keempat ini menitik beratkan pada peningkatan kualitas praktek dalam melayani publik agar kemudian tercipta sikap tanggap dalam diri ASN yang mampu mendorong peningkatan kinerjanya. Selanjutnya kriteria terakhir, yakni wawasan global. ASN harus memiliki wawasan global bukan berarti harus selalu tanggap dengan kabar terkini dari seluruh dunia, melainkan tanggap terhadap permasalahan dan fenomena yang berkembang di masyarakat.

Implementasi Undang-Undang ASN baru masuk tahun ketiga sejak disahkan tahun 2014 dan praktis belum dilaksanakan secara konsekuen sesuai RPP yang diminta. Sampai saat ini baru 2 (dua) peraturan pelaksana yang berhasil diterbitkan, yaitu PP No. 70/2015 tentang JKK dan JKM bagi PNS dan PP. Nomor 11/2017 tentang Manajemen PNS dari 19 PP yang menjadi turunan dari undang-undang tersebut. Sebagian masih dalam tahap harmonisasi, RPP Manajemen PPK, RPP Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil dan RPP Gaji dan Tunjangan yang sudah selesai harmonisasi, serta RPP Disiplin Pegawai yang sedang tahap harmonisasi dan RPP Korp Pegawai ASN, RPP Pensiun dan Tunjangan Hari Tua dan RPP Badan Pertimbangan ASN yang ketiganya sedang dalam pembahasan dalam tim kecil. Oleh karena itu, usulan revisi terhadap undang-undang tersebut menurut hemat kami perlu dipertimbangkan kembali secara matang. Bersamaan dengan itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut: Pertama, Pemerintah diharapkan segera menyelesaikan peraturan-peraturan pelakasanaan UU. No. 5 Tahun 2014 terkait manajemen PPPK, dan seluruh PP serta peraturan turunan yang diamanatkan dalam undang-undang. Kedua, Secara kelembagaan perlu dilakukan penguatan KASN terhadap struktur, SDM, sarana-prasarana, tata laksana, kewenangan, dan penganggarannya. KASN perlu diperkuat, karena tujuan pembentukan KASN adalah untuk melakukan pengawasan aparatur sejak rekrutmen sampai pemberhentiannya. Dengan lembaga yang besar, maka KASN perlu didukung oleh SDM yang memadai. Saat ini dengan pegawai sekitar 70 orang, akan tetapi KASN harus menangani 4,5 juta pegawai. Demikian pula, fasilitas, bisnis proses, dan anggaran KASN harus mendapatkan perhatian yang proporsional, sehingga KASN dapat berkinerja dengan baik sebagai motor penggerak reformasi birokrasi. Ketiga, Penyelesaian tenaga honorer dapat dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden dengan tetap mengacu pada Undang-Undang ASN. Pengangkatan honorer ke CPNS dan PPPK dilakukan secara selektif dan bertahap dengan jumlah dan kualifikasi yang diangkat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi keuangan negara. Keempat, Instansi pemerintah berhenti mengangkat honorer dan kekurangan pegawai dapat dilakukan melalui pengangkatan dari jalur umum dan PPPK.